Kekerasan Seksual dan Teknologi Menjadi Ancaman sekaligus Tantangan
Agaknya kita mestinya sadar bahwa pesatnya perkembangan teknologi tak menjamin kalau kekerasan seksual bakal tak terjadi lebih parah atau berkurang. Sebagaimana sifat dasar teknologi itu sendiri yang melekat pada penggunanya. Bisa dimanfaatkan ke hal yang baik dan positif dan juga sebaliknya. Kekerasan seksual bisa terjadi pada semua orang, baik pria maupun wanita dari anak-anak hingga orang dewasa.
Ilustrasi Kekerasan Seksual (source: ANTARA News)
Kekerasan seksual itu sendiri menurut WHO adalah sebagai
segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual
seseorang tanpa persetujuan, dengan unsur paksaan, ataupun ancaman. Termasuk
perdagangan perempuan dengan tujuan seksual hingga pemaksaan prostitusi. Dalam
hal ini termasuk tindakan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang
dewasa. Untuk anak atau individu yang masih di bawah umur bisa disebut
pelecehan seksual terhadap anak.
Ingat ya, pelecehan seksual itu sendiri merupakan bagian dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual memiliki cakupan yang lebih luas daripada pelecehan seksual. Lantas mengapa sih kekerasan seksual khususnya perempuan masih banyak terjadi di zaman modern sekarang ini?! Betapa kekerasan seksual dan teknologi masih menjadi ancaman & juga tantangan dalam menghadapinya.
Fakta Perkembangan Kasus Kekerasan Seksual
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan di rentang tahun 2012-2021 menunjukkan, sekurangnya ada 49.762 laporan kasus kekerasan seksual. Sementara di tahun 2022 ini saja, Komnas Perempuan pada Januari-November telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Termasuk di antaranya 860 kasus kekerasan seksual di ruang publik/komunitas dan 899 kasus di ranah privat/personal. Dan jumlah pengaduan ini agaknya masih akan terus bertambah, termasuk ke lembaga/layanan aduan yang dikelola oleh masyarakat sipil ataupun UPTD P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Permberdayaan Perempuan dan Anak).
Data Kasus Kekerasan Perempuan
Sementara
itu menteri PPPA Bintang Puspayoga menyebut Sistem Informasi Online Perlindungan
Perempuan dan Anak (Simfoni) mencatat ditahun 2021 ada 11.952 kasus kekerasan
anak. Di mana dari data tersebut ada separo lebih terjadi pada kekerasan
seksual atau 7.004 kasus atau 58,6 % dari jumlah total kasus kekerasan. Tak
dapat dipungkiri kasus kekerasan seksual pada anak itu ibarat gunung es.
Artinya banyak kasus yang tak dilaporkan. Hal ini juga menunjukkan permasalahan
sebenarnya yang jauh lebih kompleks dari apa yang terlihat.
Nyatanya kekerasan seksual membuat korban mengalami penderitaan mulai dari fisik, mental, seksual, ekonomi serta sosial yang berkepanjangan bisa jadi. Maka dari itu kekerasan seksual disebut sebagai kejahatan serius yang memerlukan solusi komprehensif.
Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual yang dilakukan secara: verbal, nonfisik, fisik, dan daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Di antaranya yang marak berawal dari media sosial yang akhirnya berujung pada tindak pelecehan seksual.
Apalagi saat ini anak dan teknologi memiliki hubungan yang semakin dekat. Anak dapat mengakses berbagai informasi yang beredar secara bebas di internet. Ketidakseimbangan pengetahuan internet yang dimiliki anak dan orangtua menyebabkan rendahnya monitoring dan pengawasan terhadap aktivitas anak di Internet. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan anak rentan menjadi korban kekerasan dan eksploitasi di media sosial.
Kekerasan Seksual di Media Sosial
Sebagai pengguna media sosial & internet, anak adalah komoditas terbesar dalam perkembangan teknologi. Internet dan media sosial dianggap semakin membuka peluang dan kesempatan bagi pelaku kekerasan dan eksploitasi seksual mengincar korbannya. Peluang dan kesempatan pelaku ini kemudian didukung dengan tindakan anak yang mungkin tanpa sadar atau masih polos untuk mengunggah materi seksualitas diri mereka tanpa mereka sadari.
Media sosial & internet kini menjadi medium yang membuat kekerasan seksual juga berkembang mengikuti pola & celahnya. Maka tidak heran, kan muncul istilah-istilah yang makin aneh sekarang ini. Seperti open BO, PAP TT, FWB, ONS, HS dst yang bermula dari media sosial yang tidak sehat. peluang terjadinya kekerasan melalui media online. Misalnya mempertontontkan video porno pada anak, mengunggah dan/atau menyebarluaskan gambar/video anak dalam keadaan tidak senonoh dan mengucapkan istilah yang mengandung unsur seks.
Apalagi anak zaman now itu ‘umumnya’ lebih pintar dalam urusan teknologi dibanding orang tuanya. Ditunjang dengan kemudahan akses internet yang bisa mendorong anak terkoneksi tanpa batas menjadi tantangan tersendiri dalam melindungi anak dari kekerasan seksual di media sosial.
Hal ini juga tidak lepas dari kondisi psikologis pengguna. Rapuhnya kondisi anak-anak di era digital merupakan akibat lemahnya sistem sosial yang paling utama dalam kehidupan mereka, yakni keluarga. Kondisi inilah yang menyebabkan anak lebih memilih internet sebagai media katarsis yang lebih nyaman dan menyenangkan untuk mereka.
Tetapi ingat Internet dan media sosial pada dasarnya adalah sesuatu yang netral, penggunanya lah yang berperan menjadikannya sebagai sesuatu yang positif atau negatif. So, peran orang tua dalam menemani anak menggunakan media sosial & internet yang sehat perlu dilakukan. Nyatanya teknologi juga dimanfaatkan posisitf oleh mereka yang peduli dengan kasus kekerasan seksual ini.
Belajar dari Justitia Avila dan Kepeduliannya Dampingi Korban Kekerasan Seksual
Jalan terjal korban kekerasan seksual memang masih menjadi PR besar bersama. Keadilan untuk para korban kekerasan perlu disuarakan lebih keras lagi. Di mana sebagian besar korban yang cenderung memilih diam, masyarakat yang kerap menyalahkan korban menjadikan korban kekerasan seksual semakin dilema. Berjuang menuntut & mencari keadilan sambil menyembuhkan diri dari trauma dan psikisnya.
Justitia Avila Veda
Kondisi itu pula yang melatarbelakangi sosok Justitia Avila
Veda untuk mendirikan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender atau KAKG. Yaitu
layanan konsultasi dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual yang berbasis
teknologi. Dalam KAKG yang dia dirikan ini tidak hanya program pendampingan
secara hukum saja tapi juga ada jejaring penyedia jasa pemulihan psikologis,
medis dan sosial yang diperlukan korban selama penyelesaian perkara.
Meski awalnya hanya iseng ngetwit tentang jasa konsultasi umum mengenai kekerasan seksual di Twitter yang kemudian viral dan disambut ramai oleh masyarakat hingga kini. Dan pada bulan Juli tahun 2020 hingga sekarang telah ada 150 kasus lho yang tertangani. Ini merupakan langkah strategis oleh seorang anak muda tentang kepeduliannya dalam menangani korban kekerasan seksual untuk peroleh keadilan.
Korban yang notabene cenderung diam karena takut trauma atau kena bully, dengan adanya KAKG ini bisa menjadi jembatan langsung untuk para korban melaporkan jika ada tindak kekerasan seksual terhadap dirinya. Karena KAKG ini untuk konsultasinya relatif lebih mudah karena aksesnya via media sosial & hotline. Hotline bisa diakses melalui akun Instagram @advokatgender dan via emal yang tersedia di konsultasi@advokatgender.org.
Sebagai orang yang concern terhadap isu kekerasan seksual, perempuan lulusan University of Chicago Law School ini banyak peroleh penghargaan atas dedikasinya. Kerjasama dari berbagai lembaga dengan tujuan yang sama juga makin banyak. Nah ditahun 2022 ini, Justitia Avila Veda mendapat penghargaan sebagai salah satu penerima SATU Indoinesia Awards. Sebagai wujud apresiasi dari Astra untuk generasi anak muda, baik individu maupun kelompok yang memelopori dan melakukan perubahan untuk berbagai masyarakat yaitu SATU Indonesia Awards. Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia.
UU TPKS
Dan kabar baiknya selain UU ITE yang mengakomodir penyebaran
informasi negatif di internet, di tahun 2022 ini ada UU baru khusus tentang
tindak kekerasan seksual yaitu UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau dikenal
UU TPKS. UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS tersebut telah diundangkan pada 9
Mei 2022. Maka dari itu UU tersebut juga mutlak mengatur perlindungan dan
penanganan korban kekerasan seksual. Semoga adanya UU baru ini bisa menjadi
payung hukum dan keadilan untuk korban kekerasan seksual yang sekarang banyak
terjadi di dunia digital.
Belum ada Komentar untuk "Kekerasan Seksual dan Teknologi Menjadi Ancaman sekaligus Tantangan"
Posting Komentar