Melindungi Generasi Muda dari Manipulasi Industri Rokok di Era Post-Truth
Selasa, 09 Juni 2020
Tambah Komentar
Tahun 2020 ini adalah tahun yang
sangat dramatis sekaligus reflektif di mata saya. Tahun ber-angka-kan cantik
tetapi menyimpan momentum sejarah yang pelik. Keadaan pandemik memaksa sebagian
besar orang untuk ngedekem di
singgasana masing-masing. Pasif mode defend.
Tahun ini terasa seperti reset—jalan
di tempat sejenak—yang memang harus dipilih untuk bercengkrama lagi dengan diri
sendiri sepenuhnya.
Ditengah kepungan berita-berita
Covid 19 yang cenderung negatif, saya memilih diam. Diam menjadi seperti ‘lebih
terbiasa menerima’ meski sebenarnya tidak seharusnya begitu. Betapa arus
informasi di era post-truth semakin mereduksi daya nalar kita. Tidak bisa
membayangkan mereka yang tinggal jauh dari radius pusat informasi pasti akan gelagapan mencernanya.
Ngomongin era post-truth, seorang teman mengajak untuk ikut sebuah webinar. Yaitu dalam rangka peringati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) atau World No Tobacco Day 2020, bertemakan “Lindungi Kaum Muda dari
Manipulasi Industri Rokok dan Nikotin”. Diperingati setiap tanggal 31 Mei ini. Pada
webinar ini saya seperti dibangunkan dari hipnotis panjang tentang sebuah rokok
dan daya magis di dalamnya.
Meski saya bukan perokok namun
nyatanya masih banyak keluarga, saudara dan teman yang masih tersandera
sebatang rokok yang terus dibakarnya itu. Tidak saja membakar bentuk fisiknya
tapi membakar isi dompet sampai membakar paru-parunya. Saya yakin saya tidak
sendiri dalam hal ini. Mereka-mereka itu memang pelaku rokok tampaknya tapi
sebenarnya mereka adalah korban dari industri rokok. yang sebenarnya
Saya jadi tahu banyak fakta kebohongan industri
rokok di era post-truth dibedah pada webinar yang diselenggarakan oleh Lentera Anak ini. Sebagai pemateri ada Mouhamad Bigwanto dari Tim Focal Point
pada Tobbaco Control Policy Support in Indonesia SEATCA (South East Asia
Tobbaco Control Aliiance). Ada Kiki
Soewarso sebagai Communication Specialist pada Tobbaco Control Support
Centre (TCSC-IAKMI). Dan ada Hariyadi sebagai
Data & Analyst Officer Lentera Anak dan Campaign (Bank Iklan Rokok (2017),
Telur vs Rokok (2018)).
Webinar HTTS 2020 |
Setelah melakukan webinar selama hampir
2 jam dengan segala pertanyaan yang diajukan dan dibahas di dalamnya, alhasil
saya tuangkan dalam tulisan ini. Sebagai tambahan insight ataupun perspektif baru tentang rokok.
Pertanyaannya adalah setelah kita tahu fakta kebohongannya lalu bagaimana
melindungi kaum muda ini dari manipulatif industrinya?!
Ini seperti menguak sejarah
panjang bagaimana rokok sebenarnya sudah menghipnotis orang sejak ribuan tahun
lalu. Dari awal mulanya rokok sebagai ritual perdukunan suku Indian di Amerika kini
berkembang menjadi ritual kesenangan sampai di era sekarang. Menjadi candu bagi
penghisapnya seumur hidup. Alih-alih mendapat kesenangan yang tak seberapa, perlahan
tapi pasti menggerogoti kesehatan tubuhnya. Selalu begitu. Seperti lingkaran
setan.
Riset membuktikan bahwa rokok
sangat menyebabkan ketergantungan. Disamping itu menyebabkan banyak tipe
kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan, efek buruk bagi kelahiran dan emfisema
(paru-paru). Meskipun fakta efek buruk rokok dari riset ini sudah dipampang di setiap
bungkus rokok dan segala media turunannya, tak membuat jera orang untuk
berhenti merokok. Berarti masih banyak PR yang perlu dievalusi dan dibenahi.
Dan ini menarik! Pasti ada pro kontra di dalamnya.
Kuy selidiki lebih jauh.
Generasi Candu Rokok terus Tumbuh
Menurut Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas); 51,1 persen rakyat Indonesia adalah perokok aktif dan sebagai
negara dengan jumlah perokok tertinggi di ASEAN. Separo lebih men!
Pada tahun 2013, 43,8% perokok berasal dari golongan lemah; 37,7% perokok hanya memiliki ijazah SD; petani, nelayan dan buruh mencakup 44,5% perokok aktif. Sementara 33,4% perokok aktif berusia di antara 30-34 tahun. Di sisi lain ada sekitar 1,1% perempuan Indonesia adalah perokok aktif, walaupun tentunya perokok pasif akan lebih banyak. Jadi karakteristik perokok umumnya berlatar belakang menengah ke bawah, minim pendidikan dan jelas minim edukasi mengenai bahaya rokok secara konprehensif.
Pada tahun 2013, 43,8% perokok berasal dari golongan lemah; 37,7% perokok hanya memiliki ijazah SD; petani, nelayan dan buruh mencakup 44,5% perokok aktif. Sementara 33,4% perokok aktif berusia di antara 30-34 tahun. Di sisi lain ada sekitar 1,1% perempuan Indonesia adalah perokok aktif, walaupun tentunya perokok pasif akan lebih banyak. Jadi karakteristik perokok umumnya berlatar belakang menengah ke bawah, minim pendidikan dan jelas minim edukasi mengenai bahaya rokok secara konprehensif.
Kenaikan Perokok Remaja |
Kecenderungan peningkatan
prevalensi merokok terlihat lebih besar pada kelompok anak-anak dan remaja.
Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi merokok penduduk
usia 18 tahun dari 7,2% (Riskesdas 2013) menjadi 9,1%. Dari sinilah kenapa Indonesia
sekarang dijuluki baby smokers countries.
Dan generasi candu rokok terus meningkat.
Miris! Meski pemerintah sudah
melakukan berbagai upaya untuk mengurangi konsumsi rokok pada masyarakat, mulai
dari penerapan Kawasan Tanpa Roko (KTR), sosialisasi antirokok, hingga iklan
layanan masyarakat. Kebijakan yang terasa angin-anginan memang.
Sekadar mengipasi asap rokok tapi tidak
pernah benar-benar memadamkannya. Bisa dibilang kebijakan saat ini hanyalah
merespon kejadian atau tunggu bola, reaktif terhadap kejadian.
Apa sih yang sebenarnya terjadi?!
Regulasi Rokok Sekadar Kepulan Asap Rokok
Di tahun 2012 lalu regulasi
tentang produk tembakau atau rokok sebenarnya telah diatur. Pemerintah telah
mengaturnya dalam PP nomor 109 tahun 2012, kurang lebih 50 halaman yang cukup
lengkap (sini) Di mana PP ini garis
besarnya mengatur lima hal yaitu produk
tembakau, tanggung jawab pemerintah (termasuk Perda), penyelenggaraan, peran serta
masyarakat dan pembinaan & pengawasan.
Pelanggaran Regulasi Industri Rokok |
Salah satunya saya temukan di Pasal
21a pernyataan,” dilarang menjual atau memberi kepada anak berusia di bawah 18
tahun dan perempuan hamil”. Kemudian di Pasal
24 bahkan sangat literally di tulis
seperti ini; setiap produsen dilarang mencantumkan kata “Light”, “Ultra Light”, “Mild”, “Extra Mild”, “Low Tar”, “Slim”, “Special”,
“Full Flavour”, “Premium” atau kata lain yang mengindikasikan kualitas,
superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, ataupun kata-kata dengan arti
yang sama.
Sampai di sini kita sudah tahu
kalau fakta larangan pada ketentuan pasal-pasal tadi hanya sampai di peraturan
saja, tapi praktiknya masih jauh panggang dari api. Betapa regulasi rokok hanya
sekadar kepulan asap rokok itu sendiri. Regulasi memang telah dibuat tetapi praktik
pengawasannya masih jalan di tempat.
Jadinya ya gini-gini aja, semriwing, persis
seperti rokok itu sendiri yang dibakar keluar asap kemudian dibakar lagi ketika
sudah habis. Kasarnya kita masih diperbolehkan membeli rokok dan mengindustrialisasikannya asalkan
demikian dan demikian. Di kosa kata demikian
itulah celah yang menurut saya, sebuah industri masih bisa bermain secara
halus. Apa itu?
Kuy, saya bawa lebih jauh dan dalam bagaimana fakta industri iklan rokok bekerja di
era 4.0 ini!
Pesona Iklan Rokok yang Menawan Pikiran
Remaja Rentan Terpapar Iklan Rokok |
Di balik topeng maskulinitas
iklan rokok yang menawan ternyata menyimpan pesona kepalsuan yang tak disadari
oleh kita. Iklan rokok dari tahun ke tahun selalu bertransformasi menyesuaikan tren dan regulasinya. Umumnya melibatkan
publik figur, influencer dikemas megikuti zaman dengan praktik yang halus dan terselubung.
Dari mulai iklan di media televisi, reklame sampai melibatkan event sponsorship
olah raga, musik dan sebagainya. Sampailah ke kantung-kantung pikiran generasi muda lewat sosial media.
Menjarah masuk ke media sosial
yang aksesnya lebih mudah dan masif dijangkau anak muda dan remaja sekolah.
Media sosial menjadi media yang begitu dekat dengan penggunanya (hampir) tanpa
sekat, bahkan regulasi yang mengatur iklan rokok di dalamnya masih lemah.
Akibatnya kaum muda ini pun terpapar iklan rokok dari media sosial selain TV.
Menjadikan maskulinitas sebagai
komodifikasi dalam penyampain iklan. Padahal hubungan antara komodifikasi
maskulinitas dan realitas bertolak belakang. Imaji maskulinitas yang
dibentuk dari iklan sebenarnya fragmen ideologi yang terbentuk dari konotator
pada tahapan mitos. Keterkaitan antara hasil analisis bahasa iklan
tidak menampilkan realitas produk yang sebenarnya (mirror of reality), melainkan realitas yang tidak sesungguhnya dari
sebuah produk (distorted of mirror
reality).
Selalunya begitu. Hal-hal negatif
yang dibumbui isu maskulinitas menjadi tren anak muda. Maka tidak heran untuk
dianggap keren, gaul ataupun macho orang harus melakukan hal yang
sama sebagai standar hidup di lingkungan anak muda. Ya... salah satunya kalau
tidak mabok, merokok dan narkoba.
Terdapat hubungan yang signifikan
antara terpaan iklan rokok di media apapun dengan sikap merokok remaja. Terpaan
iklan promosi dan sponsor rokok berpengaruh secara signifikan terhadap sikap
rokok remaja. Remaja yang merokok akan tetap merokok setelah melihat iklan
rokok di media online. Sementara yang tidak merokok tampak ada kemungkinan
untuk merokok setelah melihat iklan tersebut.
Seperti Philip Morris, merujuk
pada dokumen internal untuk presentasi strategi iklan 2015, adalah memastikan
bahwa ‘tiap perokok dewasa semestinya bisa membeli rokok dalam radius jalan
kaki’. Sementara untuk menargetkan anak muda, dengan strategi yang sejak dulu
dilakukan yaitu mensponsori bar ataupun klub malam. (American Journal of Public
Health 2002).
Mirisnya di Indonesia
rasa-rasanya lebih bar-bar dari itu. Rokok
hampir bisa ditemukan di semua lini penjualan. Apalagi dengan gaya berjualan
toko kelontong di pinggir jalan, gang rumah, kantin sekolah hingga minimarket.
Semua terjangkau. Inilah surga buat industri rokok. Selain begitu mudahnya
akses untuk membeli rokok, bahkan cara membelinyapun lebih dipermudah lagi.
Misalnya orang yang tidak mampu membeli sebungkus bisa membeli ketengan atau batangan bahkan kalau
perlu ngutang. Gimana remaja sekolah gak tergiur
jika keadaannya demikian.
“Our conventional cigarette products are the choice of 150 million
consumers worldwide, and for those who choose to continue to smoke, we will
continue to offer them the best quality products, but that’s not where our
vision for smokers ends. More than 400 R&D scientists, engineers and
technicians are developing less harmful alternatives to cigarettes replacing
cigarettes with the smokes-free products, dedicated to offering consumers
better choices”. (Philips Morris International 2019)
Indonesia adalah Target Pasar Industri Rokok |
Artinya kurang lebih begini bagi
mereka yang memilih untuk terus merokok maka industri akan terus menawarkan
produk ‘berkualitas terbaik’ kepada perokok. Salah satu visinya adalah mencoba
menggantikan rokok dengan produk baru seperti sekarang ini yaitu rokok
elektrik. Walaupun hakikatnya sama hanya perubahan gaya rokok dengan bahan kimia dan
nikotin. Selidik punya selidik rokok
elektrik atau familiar disebut vape ini
tak kalah buruk dampaknya bagi kesehatan tubuh. Karena rokok elektrik terdiri
dari tabung yang berisi cairan nikotin, perasa buah, dan bahan kimia lainnya. Ada
yang menyebut bahwa rokok elektrik jauh lebih bergaya dan banyak juga yang
menganggap bahwa vape lebih aman dibanding rokok tembakau.
Meski begitu, belum ada hal yang
membuktikan bahwa vape benar-benar bebas dari risiko. Penggunaan vape dalam
jangka panjang, yaitu satu tahun atau bahkan kurang, juga disebut bisa
meningkatkan risiko seseorang terserang penyakit kanker. Maka dari itu,
penggunaan vape pun sebaiknya diwaspadai, terutama pada remaja dan orang yang
rentan terserang penyakit.
Melindungi Generasi Muda dari Manipulasi Industri Rokok dan Nikotin
Maka definisi melindungi di sini sebenarnya ambigu dan
masih bisa diperdebatkan. Bahkan terkesan melindungi industrinya ketimbang
melindungi korbannya. Ketegasan akan menjadi taruhan di sini. Melarang sekalian
atau tidak. Agaknya masih setengah-setengah, seperti main dua kaki. Kebijakan
yang berdasarkan aspek kesehatan seperti terbentur dengan kebijakan dari segi
ekonomi. Lucu juga yak tiap tahun
diperingati tapi kenaikan terus terjadi.
Melibatkan Anak untuk Event Sponsor |
Melindungi menjadi kata yang
positif. Tetapi menjadi riskan jikalau berbicara siapa yang akan melindungi dan
seperti apa caranya. Tahukah kamuh kalau
pemerintah sejak 2015 lalu juga telah menjalankan tujuh program penanggulangan
rokok. Nah bagainana sekarang relevansi
program tersebut dengan tema HTTS tahun ini.
Kuy, kita bedah dan evaluasi agar kosa kata melindungi ini lebih efektif lagi.
Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI menerangkan
tentang ketujuh program itu sebagai berikut. Sekaligus saya tambahkan usulan
& kritik pada beberapa poin di bawahnya.
1. Peraturan Perundang-undangan.
Indonesia
memiliki UU 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang ada pasal-pasal yang mengatur
kebiasaan merokok, juga ada PP 109 tahun 2012 yang mengatur lebih rinci tentang
isi UU 36 tahun 2009 di bidang penanggulangan merokok, dan juga ada Peraturan
Menteri Kesehatan, Peraturan Ka Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan
juga berbagai Peraturan Daerah serta Aturan (SK) Gubernur, Bupati dan Walikota.
*Saya sangat apresiasi terhadap
segala regulasi atau peraturan perundangan yang telah ada tentang rokok ini.
Tetapi praktik di lapangan dan pengawasannya masih belum benar-benar dijalankan.
Alhasil pelanggaran yang terjadi seakan dibiarkan, seperti beberapa pasal di
atas tadi.
2. Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
Penyuluhan
tentang dampak merokok bagi kesehatan. Hal ini dilakukan melalui berbagai media
yang ada, baik di tempat sarana pelayanan kesehatan maupun juga tempat-tempat
umum.
*Penyuluhan tentang dampak
kesehatan baiknya dilakukan dengan lebih baik dan kreatif lagi. Terutama di
lingkungan pendidikan.
3. Peringatan kesehatan dalam bentuk gambar.
Untuk
Indonesia, mulai 24 Juni 2014 maka semua rokok yang dijual harus mencantumkan
satu dari lima pilihan gambar peringatan kesehatan.
*Nah ini perlu dievaluasi efektifitasnya. Memang setiap bungkus
rokok saat ini telah terpampang jelas gambar dampak buruk rokok termasuk
kata-kata peringatan di dalamnya. Tetapi bagi saya ini masih kurang kreatif. Efek visualisasi perlu
ditambah dengan kata-kata berupa data-data riset tentang rokok setiap tahunnya.
Kalau perlu tiap bungkus rokok cantumkan data-data riset terbaru tentang dampak
negatif rokok.
4. Pengaturan iklan rokok.
Regulasi Iklan Rokok di TV |
Harus
diakui bahwa iklan berperan penting dalam pembentukan opini masyarakat,
termasuk mau merokok atau tidak. Dalam aturan yang ada di Indonesia maka sudah
ada semacam aturan tentang hal ini, walau memang belum dalam bentuk pelarangan
total.
*Pengaturan penayangan iklan di
media bisa diatur lebih tegas lagi. Misalkan; selain pengaturan jam tayang, mewajibkan
pula setiap iklan rokok yang tayang di media, khususnya TV harus dibarengi
(selingi) dengan iklan tentang dampak rokok pada saat yang bersamaan. Jadi setiap ada iklan rokok yang tayang pasti
ada iklan tentang dampaknya.
5. Terwujudnya Kawasan Tanpa asap Rokok (KTR).
Hal ini
untuk menjamin bahwa warga masyarakat, setidaknya di tempat-tempat umum, dapat
menghirup udara bersih sehat dan bebas dari asap rokok. Dari waktu ke waktu kita
lihat bahwa di sekitar kita makin banyak ruangan bebas asap rokok ini, termasuk
di bioskop dan mal-mal besar.
*Kawasan Tanpa Rokok semakin
diperluas. Coba periksa di sekolah-sekolah atau kampus, kantin-kantin sekolah
masih begitu bebas perjual-belikan rokok dan mengonsumsinya. Seharusnya
lingkungan pendidikan atau sekolah steril dari rokok. Lingkungan sekolah
khususnya di daerah masih rentan dan lemah pengawasan peredaran rokoknya. Perlu
adanya pelarangan rokok di kantin sekolah dan kampus oleh sekolah atau kampus
itu sendiri.
6. Terselenggaranya pelayanan
kesehatan untuk bantuan orang yang ingin berhenti merokok.
7. Untuk mereka yang akhirnya
jatuh sakit karena rokok akan segera ditangani melalui program Jaminan
Kesehatan Nasional.
Melindungi dengan Mengubah Mindset Rokok sejak Dini
Sudah berbagai cara dan
peringatan tentang bahaya merokok telah digencarkan. Tidak pernah berhenti
sampai saat ini. Meskipun begitu perokok khususnya di masa usia sekolah dan remaja
nyatanya masih selalu naik dari tahun ke tahun. Agaknya dibutuhkan hal yang
lebih serius mengenai hal ini.
Pada dasarnya aktifitas merokok
sebenarnya adalah sebuah kebiasaan lalu menjadi sebuah budaya, hanya saja
sifatnya negatif. Untuk mengubah budaya atau kebiasaan seseorang haruslah mengubah
mindset seseorang tentang rokok itu
sendiri. Dan harus dilakukan secara kontinyu, sejak dini.
Lindungi Anak dari Rokok Sejak Dini |
Untuk mengubah mindset tentang rokok seharusnya mulai dilakukan
di lingkungan sekolah dan rumah. Bagaimana pemerintah sebaiknya membuat
kurikulum atau pelajaran khusus tentang rokok, miras dan narkoba. Misalnya,
bisa dimasukkan sebagai bagian mata pelajaran olah raga. Andai saja ini
dilakukan sejak dini dari TK sampai SMA pasti lebih signifikan melindungi generasi
muda dari rokok. Karena sebenarnya propaganda rokok harus dilawan juga dengan
propaganda anti rokok sejak dini.
Begitu juga di lingkungan
keluarga atau rumah. Sebisa mungkin keluarga atau orang tua memberi contoh
langsung untuk tidak merokok dan melarang keras anaknya untuk merokok. Meskipun
ini agak sulit tapi memang seharusnya dilakukan. Faktanya memang sulit
menghilangkan rokok itu sendiri. Tetapi perlawanan terhadap rokok ini memang akan
terus terjadi.
Sampai di sini semoga definisi melindungi
menjadi lebih berarti dimaknai. Don’t
smoke!
Referensi:https://www.google.co.id/amp/s/gaya.tempo.co/amp/670950/ada-7-program-penanggulangan-rokok-di-indonesia
Belum ada Komentar untuk "Melindungi Generasi Muda dari Manipulasi Industri Rokok di Era Post-Truth"
Posting Komentar