Yang Luput dari Film Wiro Sableng 212
Kamis, 30 Agustus 2018
Tambah Komentar
Wiro Sableng & 20 Fox |
Sinopsis
Nusantara abad ke 16, Wiro
Sableng (Vino G Bastian), seorang
pemuda, murid dari pendekar misterius bernama Sinto Gendeng (Ruth Marini), mendapat titah dari
gurunya untuk meringkus Mahesa Birawa (Yayan
Ruhian), mantan murid Sinto Gendeng yang berkhianat. Dalam perjalanannya
mencari Mahesa Birawa, Wiro terlibat dalam suatu petualangan seru bersama dua
sahabat barunya Anggini (Sherina Munaf) dan
Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarizi).
Pada akhirnya Wiro bukan hanya menguak rencana keji Mahesa Birawa, tetapi juga
menemukan esensi sejati seorang pendekar.
Review
Cast Karakter Wiro Sableng |
Kalau tak salah, menjadi film
kelima dari Lifelike Pictures yang diedarkan secara luas(release) setelah Pintu
Terlarang (2009), Modus Anomali (2012),
Tabula Rasa (2014) dan Banda The Dark Forgotten Trail (2017),
adalah sebuah peneguhan kalau-kalau PH satu ini tidak sembarang memproduksi
sebuah film—Indonesia. Peneguhan itu kembali diparipurnakan dengan sebuah
penjajakan sekaligus lompatan—yang perlu diapresiasi—dengan menggandeng 20th
Century Fox sebagai co production pertama
di Asia Tenggara.
Memang sebuah ketakjuban ketika Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 berhasil tayang di bioskop (30 Agustus ini). Pastinya akan memantik
rasa rindu dari para fans lawas seperti
saya untuk sekedar menjadi nostalgic
romantic ketika menonton ulang dengan format lain seperti ini. Di sisi lain
agaknya memberi oase baru bagi para penonton film Indonesia akan hadirnya
pahlawan asli Indonesia ke layar lebar. Sekaligus mengedukasi buat para
milenial yang tak begitu tau menahu tentang film ini sehingga mendetoksifikasi
dari tontonan absurd nan polutan belakangan
ini.
Saya juga mafhum kalau orang
Indonesia sudah ‘mempersiapkan diri’ menyambut film ini. Jadi ga heran ketika Wiro Sableng kemudian menjadi film yang diperbincangkan banyak
kalangan. Hal ini saya buktikan setelah sehari berselang press screening & conference, iseng-iseng saya posting sebuah
status di medsos. Timeline medsos
mendadak ramai dengan celoteh mereka yang sangat penasaran Wiro Sableng seperti apa, banyak orang bilang tidak ingin melewatkan
film ini, orang yang penasaran efek CGInya bagaimana dan seterusnya.
Saya termasuk beruntung bisa
menyaksikan gala premiere di XXI
Epicentrum atas undangan temen-temen blogger. Pada intinya, untuk sesaat tampaknya
Wiro Sableng bisa menjadi semacam
standar baru film action-fiction yang
mumpuni penggarapannya meski tidak menampik masih banyak PR di dalamnya—untuk
disebut-sebut sebagai film bagus.
Meskipun saya sebagai orang
Indonesia bukan berarti saya harus mendukung film Indonesia dengan mainstream membabi-buta. Hanya karena
film tersebut di produksi dalam negeri dengan kualitas sekian dan sekian. Nah,
saya kadang termasuk orang yang subyektif dalam mereview. Karena yang saya
lihat obyek filmnya bukan latar belakang penggarapannya. Sebagai penikmat film
amatir, entah kenapa untuk film Indonesia saya akan selalu menyetting
ekspektasi di radius—‘tidak
semengecewakan yang diharapkan’—ketika sebuah film itu cukup bagus atau
lumayan. Dengan begitu mengurangi diri
untuk tidak jatuh pada jurang kekecewaan lebih dalam. Pun termasuk film Wiro Sableng ini. Karena menikmati
sebuah film sekadar sebagai hiburan dan film sebagai tontonan yang dikritisi
adalah hal yang beda.
Sebelum saya menulis inipun gregetan
untuk merefresh pikiran saya dengan menonton ulang beberapa episode Wiro Sableng versi peranan Ken Ken (tayangan TV) di youtube.
Kemudian alam bawah sadar sayapun secara alami ikut membandingkan(bukan untuk mencari yang bagus atau jelek), untuk mencari jawaban akan kebingungan
saya di beberapa scene di Wiro Sableng versi layar lebar dan
.....voila! Momentum yang sama membawa saya flashback
ke ingatan ke masa-masa sekolah yang saban minggu rela menunggu jam 11
hanya untuk menunggu kelanjutan film Wiro
Sableng di tv seperti apa. Saking asyiknya tingkah konyol tempo dulu yang
begitu membekas dengan film ini perlahan naik ke permukaan sadar. Seperti
menggambar angka 212 di dada, membuat kampak 212 dengan tanah liat, termasuk
mempraktikkan beberapa jurus khas wiro he..he..he. Kalau kalian pernah
melakukannya berarti kalian ....assyudahlah (sudah tua).
Wiro Sableng biakkan Lifelike Pictures dan 20th Century
Fox ini memakan waktu 1.5 tahun penggarapannya. Digawangi oleh produser Sheila Timothy dengan skala budget yang besar tentunya. Dengan
mengadaptasi novel karya alm. Bastian
Tito yang terdiri 185 buku selama 39 tahun lamanya, menjadikannya sebuah intectual property terlama dan
terpanjang di Indonesia. Menurut saya di situlah tantangan sekaligus tanggungan
resikonya ‘kenapa’ film ini dibuat. Akankah semenarik dan mengikat seperti tayangan
TVnya atau malah sebaliknya. Biar penonton yang mengadilinya. Apalagi karya Bastian Tito ditransformasikan ke layar
lebar lewat pewaris seninya—sekaligus anaknya—Vino G Bastian. Yang saya yakin menjadi ‘amanah’ seni yang tidak
mudah baginya.
Sebagai tokoh sentral karakter
Wiro di sinetron tv yang diperankan Ken
Ken dan versi Vino agak berbeda
secara karakter. Agaknya ada pergeseran karakter yang disesuaikan zamannya.
Saya maklumi ini sebagai bagian untuk memperkenalkan tokoh Wiro menjadi lebih dekat
dan diterima dengan penonton sekarang. Sangat terlihat dari jokes yang
dilontarkan Wiro di sini. Yang paling terngiang dan nampol penyebutan Syahrini yang pecah abis, jokes antar
sahabat yang tidak mau mengalah dan seterusnya.
Engga nyangka juga Vino bisa berantem sehebat ini di film.
Salah satu yang membuat kecewa di sini adalah eksplorasi jurus-jurus Wiro
Sableng yang kurang maksimal diterapkan. Bahkan jurus kunyuk melempar buah sebagai salah satu jurus andalan dan
fenomenal malah luput dari karakter Wiro. Hanya jurus pukulan Matahari sebagai
khas kekuatan yang ditonjolkan. Ciri khas pertarungan outdoor Wiro Sableng dengan gaya terbang atau lari di udara yang
nihil. Saya terkesima saat Ken Ken muncul
sebagai cameo dengan iringan part musik tayangan TV. Untuk sesaat
saya dan semua penonton memberi applause respect.
Apalagi di situ Vino seolah-olah
menaruh hormat dan meminta ijin.
Wiro Sableng |
Berkisah saat Wiro kecil yang orang tuanya dibunuh oleh Suranyali(Yayan Ruhian) yang dulunya murid Sinto
Gendeng—(selanjutnya disebut Mahesa Birawa). Kemudian Wiro diselamatkan dan diasuh oleh Sinto Gendeng(Ruth Marini) yang selanjutnya mengangkatnya sebagai murid. Setelah
bertahun lamanya saatnya Wiro mengemban tugas dari gurunya membawa kembali Mahesa
Birawa (sebagai balasan) karena telah berkhianat. Dengan begitu dirinya resmi
didaulat sebagai Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Bersenjatakan
kapak dan batu hitam. Dalam petualangannya Wiro akan bertemu Anggini (Sherina Munaf) dan Bujang Gila Tapak
Sakti (Fariz Alfarizi) sebagai
kawannya. Kemudian bersama-sama menggagalkan konspirasi tahta kerajaan yang
melibatkan Mahesa Birawa sebagai musuh utamanya. Termasuk upaya penyelamatan
Putri Rara Murni (Aghniny Haque) dan
sang Pangeran (Yusuf Mahardika) dari
penculikan.
Film dibuka dengan suguhan efek
CGI (Computer Generated Imagery) berupa bulan merah raksasa dan
hewan yang memanjakan mata sekaligus menggiring awam untuk berdecak kagum dan
bilang ‘wow’ untuk sesaat karena begitu smooth.
Selanjutnya penonton langsung dilabrak adegan laga sebagai jualannya utama film. Mengusung genre action-fantasy khas Indonesia, film ini dibuat dengan memasukkan
Pencak Silat sebagai style laganya.
Arahan koreografi dari Yayan Ruhian menjadikan
silat menjadi adegan lentur untuk dilihat yang dipadukan atau dikombinasikan
Fantasi khas Nusantara oleh Adrianto
Sinaga.
Selain akting Ruth
Marini sebagai Sinto Gendeng yang tampak lebih serem dan gendeng. Ada dua
tokoh yang mencuri perhatian saya yaitu Anggini (Sherina Munaf) dan gurunya Dewa Tuak (Andi/rif) yang diperankan dengan sangat baik. Berbicara Sherina akan mengantarkan kita pada dia
di masa petualangan Sherina. Nah sekarang beradegan laga dengan rentang tahun
yang lama untuk acting kembali. Tidak
buruk. Lebih gila lagi Andi/rif yang
berlatar belakang musisi menjadi berbelok ke seni peran namun sangat baik
penjiwaannya. Sangat cocok dan tak terlihat jika di balik sosok Dewa Tuak
adalah seorang musisi. Lain halnya dengan Marcel
Siahaan sebagai ayah Wiro saat kecil yang menurut saya masih kaku, baik
dari cara beraktingnya ataupun ekspresi emosinya.
Memang tak dapat dipungkiri lewat
Wiro Sableng ini para (Visual Effects) VFX
artist Indonesia benar-benar
menunjukkan karyanya—yang kerap dianggap sebelah mata—punya ruang ekpresi dan
kreasi yang begitu passionate. Sehingga
ke depan perfilman Indonesia semakin percaya diri untuk bermain di wilayah ini.
Di beberapa scene saya menemukan visual
efects yang memanjakan mata mulai intro menuju pembuka film, transisi flashback, penerapan di aksesori
pendukung berupa kekuatan, jurus maupun efek ketika terbang yang cukup smooth. Terutama saat scene Wiro flashback ke masa kecil saat orang tuanya dibunuh dan perubahan
Sinto Gendeng dari muda ke tua yang aduhai.
Untuk menghasilkan efek yang
memuaskan tersebut melibatkan sekitar 93 VFX artist asli Indonesia. Meskipun begitu beberapa scene masih terasa kasar dan komikal.
Seperti adegan perkelahian Wiro, dan sahabatnya di atas pohon yang kemudian jatuh
di sungai. Entahlah kalau memang dibuat demikian. Tetapi terlihat sangat
kontras jika diperhatikan.
Anggini, Wiro Sableng & Bidadari Angin Timur |
Tema Indonesia sengaja
dimunculkan dengan adanya Fantasi khas Nusantara dari Adrianto Sinaga (Production
Designer) ft Chris Lie dari Caravan
Studio. Alhasil, sentuhan tangan ajaibnya 300 rancangan kostum dan 150 senjata
berhasil diaplikasikan secara apik di setiap karakter. Yang memikat saya adalah
kostum yang dikenakan Marsha Timothy yang
membuat karakter Bidadari Angin Timur begitu mempesona. Gaunnya menjadi glowing ketika turun dan meluncur ke
bawah dengan tambahan efek yang ciamik. Konon gaun ini juga dapat sentuhan dari
Tex Saverio yang semakin elegan.
Saya cukup menaruh respect di bagian scoring music dari tatanan musik oleh Aria Prayogi yang begitu anthemic.
Ada rasa-rasa kolosal seperti di Transformer Last Knight saat
hentakan-hentakan suara kudanya beraksi. Meski saat adegan tarung kadang
terlalu lantang sehingga beradu saing dengan suara tokoh namun tetap memihak
telinga penonton untuk terus menatap layar. Luangkan waktu sedikit untuk
menikmati musik yang asyik di penghujung credit
tilte dari Koil berjudul Aku Lupa Aku Luka.
Setelah saya menonton ulang versi
sinetron beberapa episode yang berkaitan dengan plot cerita. Meski awalnya
hanya untuk mencari jawaban atas kebingungan saya di beberapa scene yang
sepertinya butuh penjelasan. Sehingga jawaban di versi sinetron menjadi semacam
kekurangan di versi layar lebarnya. Naskah
yang turut digarap Lala bersama Tumpal
Tampubolon dan Seno Gumira Adjidarma
membuat cerita begitu padat dengan tokoh untuk dipertunjukkan. Alhasil,
sang sutradara Angga Dwimas Sasongko terkesan
harus mengekseskusi sebalance
mungkin.
Beberapa scene yang tercatat di benak saya adalah kenapa Suranyali tau-tau
berubah namanya menjadi Mahesa Birawa (jawaban; nama Mahesa Birawa diberikan guru barunya setelah ia berkhianat dari
Sinto Gendeng), kok tiba-tiba ada sebuah tahta kerajaan (jawaban; kerajaan itu adalah kerajaan Padjajaran yang
dipimpin Kamandaka, yang terjadi perebutan kekuasaan karena perbedaan keturunan
ahli waris tahta), bukannya kalau turun hujan itu api akan padam ya saat
pembakaran mayat Putri Rara Murni?. Lho ini Mahesa Birawa tiba-tiba sudah
bersekutu dengan para pendekar golongan hitam di tengah-tengah film (jawaban; wah yang ini saya juga tak tahu hehehe...).
Ah masa sih seorang anak raja gampang
jatuh cinta dengan seorang pendekar begitu saja padahal baru ketemu. Dan
seterusnya.
Hal ini lah yang selalu
melatarbelakangi sekaligus kekurangan film Indonesia secara umum; materi cerita
yang kurang kuat atau eksekusi naskah yang dipaksakan. Jika disimpulkan, seakan menonton Wiro Sableng mengingatkan saya menonton Avenger Civil War tentu dengan format lain. Pertempuran
antara dua kubu yang saling berseberangan. Perbedaannya yang mencolok adalah di
Avenger Civil War setiap karakter tokoh-tokohnya begitu kuat diperkenalkan
(karena punya film masing-masing). Keistimewaan tokohnya melekat dari nama latar
belakang dan keunikan kekuatan tiap tokoh. Di Wiro Sableng saya tak
menemukannya( ya karena memang tak cukup
ruang). Terutama di kubu Mahesa Birawa, praktis hanya dia seorang yang
dikenalkan ke penonton sejak awal. Tokoh lain hanya sekilas sehingga penonton
diajak menebak-nebak siapa tokoh ini, karakternya seperti apa lewat acting, tampilan baju dan disaat tokoh musuh mengeluarkan jurus
berupa efek kekuatan sebagai petunjuk akhir. Apalagi tokoh pemegang bunga yang
mati begitu saja di tangan Anggini.
Saya (coklat) dan temen2 TDB |
Meskipun durasi film begitu
panjang (123 menit) ternyata tak cukup untuk memperkenalkan tokoh-tokoh penting
di dalamnya. Atau karena terlalu banyak tokoh yang ingin dimasukkan di film—mungkin
merangkum beberapa buku—malah menjadikan komposisi film menjadi terlalu padat
sehingga tokoh-tokoh di pihak musuh tadi menjadi ‘sia-sia’ dalam perannya. Karena
terlalu banyak tokoh maka harus ada pembagian jatah peran yang berimbang.
Meskipun memang ujungnya harus kalah di kubu Wiro. Namun kekalahannya tidak
menunjukkan keeleganan sebagai seorang musuh dengan karakter khas masing-masing.
Andaikan tokoh yang ada cukup diminimalisir dengan memaksimalkan penguatan dan
pengenalan setiap karakter akan menjadi film yang lebih diterima secara baik
dari segi cerita. Ending film terasa kurang greget dan sebegitu saja Mahesa
Birawa dieksekusi. Terlalu singkat dan kurang elemen dramatisir.
Maka dari itu saya tidak heran
ketika temen-temen generasi milenial yang tidak bersentuhan dengan novel atau
pun sinetronya akan dibuat bingung dengan penokohan yang ada. Untuk itu saran
saya baik yang sudah mengenal Wiro lewat buku atau sinetron TV dan terlebih untuk
generasi milenial yang tak tau Wiro sebaiknya menonton sebentar episode 1,
episode Mahesa Birawa dan episode Kerajaan Padjajaran di youtube. Itu sangat
membantu. Dan jangan buru-buru keluar bioskop karena ada penggalan sequel
keduanya.
Bagaimanapun juga Wiro Sableng
tetap mampu memberi ruang decak kagum dari setiap penontonnya. Baik sebagai
hiburan yang enak untuk ditonton sambil bernostalgia romance-childhood. Sebagai karya perfilman tanah air yang sebaiknya
juga dikritisi untuk menatap persaingan ke tempat yang lebih tinggi dan luas—di
luar sana.
Belum ada Komentar untuk "Yang Luput dari Film Wiro Sableng 212"
Posting Komentar