I am Hope: Film yang Coba Menjewer Kemanusiaan
Selasa, 09 Februari 2016
Tambah Komentar
Agaknya gerbong dari rumah
produksi Alkimia Production sudah siap ikut meramaikan industri perfilman tanah
air. Kali ini dengan film “I am Hope” berceritakan perjuangan menggali harapan
dari seorang gadis pengidap kanker. Konon film ini benar-benar mengadopsi dari
true story para pengidap kanker. Karya dari sutradara Adilla Dimitri yang
sekaligus suami Wulan Guritno (Produser) patut dicatatkan dalam lembar baru sutradara
tanah air.
Alasan menonton film ini tentu
bukan sekadar alasan hanya karena kumpul-kumpul bareng temen KOPI aja. Lebih
dari itu saya bersama temen Koalisi Online Pesona Indonesia sudah mengikuti
jejak dalam mengawal langkah film ini pra tayang perdananya. Maka kesempatan
sore kemarin (9/2/16), dalam gala premiere film ini sebagai bentuk pari purna
yang tidak bisa begitu saja dilewatkan. Karena alasan kemanusiaan juga film ini
dibuat.
Alasan lain yang cukup menaruh
rasa ‘curiga’ saya kita adalah rasa penasaran pada para pemain yang
berakrobatik di dalamnya. Selain pemeran utama film Tatjana Saphira, sebut saja
nama Tio Pakusadewo, Fachri Albar, Ray Sahetapy kiranya mampu menggaransi film
ini, menilik track record mereka. Lalu
saya harus memulai dari mana mengulasnya?
Jajaran para aktor yang saya
sebut tadi bolehlah sebagai bukti praduga untuk menuduh amunisi ganas film ini
untuk meramaikan spectrum warna film tanah air. Tapi apa iya demikian adanya.
Sebagai penikmat baru dalam perfilman (tanah air) saya menduga-duga dulu dalam
kacamata objektif dan subjektif pribadi. Sebelum pada akhirnya benar-benar
dilempar dalam bioskop 18 Februari mendatang dan diadili oleh penontonnya.
I am Hope. Cerita diawali dari
sebuah narasi dari harapan Mia (Tatjana Saphira) dalam negeri dongeng yang
memang diceritakan menjelang tidur oleh ibunya (Febi Febiola). Ayahnya yang diperankan
Tio Pakusadewo sebagai seorang ayah yang begitu sayang pada anaknya. Sebagai
bentuk keluarga seniman yang harmonis, bahagia dan ideal. Konflik yang mulai menukik
dalam film adalah saat ibunya Mia sebagai sutradara pertunjukan harus meninggal
karena kanker. Dengan harta yang sudah cukup terkuras dalam pengobatan ibunya,
konflik kembali lebih dalam menukik yaitu saat Mia divonis kanker paru-paru.
Sebagai seorang ayah ini adalah
pukulan terberat dan sebagai kepala keluarga akan sangat lunas rasa kehilangannya.
Setelah istrinya mendahului pergi kini giliran anak semata wayangnya harus
bernasib sama, anggapnya. Di koridor
psikologi lain juga hadir sebagai bentuk dilematis dari seorang ayah di antara keinginannya
untuk kesembuhan Mia dan kekukuhan Mia yang ingin sekali melakukan pertunjukan
sebelum katakanlah kematiannya.
Catatan kritis yang ingin saya
sematkan bukan tentang kualitas aktingnya tentunya. Justru saya mendapati peran
si Maya (Alesandra Usman) yang begitu memikat. Sangat pas ketika adu perannya
sebagai gambaran dari realitas ‘harapan’ Mia. Bolehlah suatu saat nanti ia
menjadi pemeran utama dalam film, semoga produser melirik ia di bagian film
ini.
Saya lebih akan bicara peran
Fachri Albar sebagai David dalam film ini. Entah kenapa saya ingin peran David
di sini mampu memberikan kesan yang lebih dalam pada sosok Mia. Kesan subjektif
saya adalah sutradara memperkaya scene di mana David dan Mia yang saling jatuh
cinta ini dengan setting dan narasi dialog yang lebih luas. Karena kesan romantic
film ini terus terang agak kurang banyak,
meskipun scene saat menonton berdua di ruang pertunjukan sudah cukup
memancing gelak romantic penonton. Agaknya bisa diperluas dalam setting-setting
yang lain agar perbandingan kesedihan dalam film terimbangi dengan scene kebahagiaan
dari si Mia. Saya kembali memasukkan Maia yang membuat film ini tidak jadi
terlalu drama, setidaknya mampu membuat konflik sedikit landai sehingga kesan
lebay dari sebuah kesedihan itu tertutup secara natural.
Namun pandangan objektif saya,
selalu mengedepankan untuk film tema inspiratif, menggugah rasa kemanusiaan
seperti I am Hope ini harus saya ditempatkan dalam ruang tersendiri. Film yang
mencoba membidik pusat kesadaran selalu punya peluang untuk menjemput
penontonnya sendiri entah bagaimanapun kesan pertama melihatnya. Apalagi film
ini akan benar-benar menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk para penyandang
kanker. Jadi tidak ada salahnya menonton film ini sebagai bagian sumbangsih
kita membantu memeluk harapan-harapan mereka. Karena saya cukup puas untuk
dibuat menjewer rasa kemanusiaan menonton film ini.
Belum ada Komentar untuk "I am Hope: Film yang Coba Menjewer Kemanusiaan"
Posting Komentar