Mimpi Saridin
Minggu, 12 Januari 2014
Tambah Komentar
Mimpi
Saridin, antara tanda tanya dan koma!
Oleh: Andy El Ghazali
Saridin
duduk di kelas 1 SMP. Dia siswa yang pintar. Sejak kelas satu, dia selalu di
posisi terdepan dalam hal juara kelas. Bukan, bukan dari kelas satu, tepatnya
waktu dia mulai duduk
di bangku SD. Dan tahukah hanya satu orang yang menghimpit di belakang sepak
terjang kecerdasannya. Orang itu tak lain diriku sendiri. Pesaing sengit di
kelas tapi sekaligus sahabat
terbaik dalam mengarungi kerasnya hidup.
Ini kisah bukan tentang diriku, tapi Saridin dalam memaknai keberadaan ayahnya, keluarganya juga tentang mimpi-mimpinya.
Tidak sekadar mimpi belaka tapi memaknai hidup dengan penuh kedewasaan.
Aku
mengenal dia
seperti mengenali diriku sendiri. Aku dan dia satu sekolah, satu kelas, satu bangku, hanya nasib tipis yang membuat perbedaan
di antara kami . Di dalam dirinya
sebagian diriku dapat kumaknai. Di dalam dirinya
sebagian diriku dapat kutemui. Itulah alasan kenapa cerita mengenainya begitu penting buatku.
Cita-citanya
sungguh elegan, aku mengatakan cita-citanya walau dia merasa itu hanyalah
sebuah obsesi dalam hidupnya.
Bukan tak ‘mau’ bercita-cita atau apa, keadaan yang memaksanya untuk lebih
mudah mengatakan itu sebuah obsesi daripada sebuah cita-cita. Pelajaran
favoritnya Fisika.
Dalam pelajaran ini dia selalu meraih nilai sempurna, Bu Fitri-guru Fisika-selalu tersenyum
bangga dibuatnya. Dia jugalah yang sering mewakili sekolah untuk lomba-lomba
tingkat kapubaten maupun
propinsi.
Semenjak
menemukan majalah National Geographic
di perpus saat masuk di hari pertama sekolah, ia menobatkan diri ingin menjadi
pakar dalam cabang ilmu Fisika. Dia ingin menjadi penguasa ilmu Astrofisika,
mempelajari tentang cabang astronomi yang berhubungan dengan jagat raya, baik
segi fisik, suhu, kepadatan, unsur kimia maupun planet-palnet yang bertebaran
dalam jagat raya ini, begitu katanya padaku. Tidak hanya itu, gara-gara majalah
itu pula ia ingin belajar ilmu Ekologi, sebuah ilmu yang mempelajari berbagai
genre mahluk hidup di dunia ini. Sebuah ilmu yang berharap dia bisa menyelami hutan-hutan jauh
di pedalaman Amazon sana.
Ayahnya-Karmin-
amat bangga akan cita-cita Saridin.
Itu memang cukup masuk
akal. Saridin adalah anak satu-satunya
yang bisa dibilang diharapkan kedepannya. Mengingat adik satu-satunya Saridin
bernama Sri-terserang polio sejak umur lima tahun belum lagi mentalnya juga
agak terganggu. Praktis, ayahnya pendukung utama dalam kesuksesan Saridin.
Mungkin ayahnya juga berharap keberhasilan Saridin kelak akan mengakhiri
strereotip lama tentang keluarganya yang buta akan tulis dan baca.
“Andy, apakah kamu tahu suatu saat
Saridin akan menjadi ilmuwan...?” kata ayahnya kepadaku saat berkunjung ke
rumahnya.
“Benar Pak, nggak diragukan lagi kelak dia akan menjadi seperti yang bapak
harapkan...”aku meyakinkannya.
Harapan menjadi ilmuwan itu juga
yang memompa semangat Pak Karmin dalam bekerja.Tak kenal mengeluh meski harus
banting tulang di terik siang. Yang ia bayangkan bagaimana membahagiakan Saridin, walaupun Saridin juga
mahfum tentang keadaan keluarganya.
Tapi memang benar bahwa sosok orang tua bagaimanapun
pasti
akan mengorbankan apapun demi anaknya. Itulah yang aku lihat dari sosok Pak
Karmin.
****
“..Hari senin, praktik Fisika semua
wajib membawa alat-alat yang di perlukan...” Bu Fitri mengkomando pada seluruh
siswa.
“....gunting,
thermometer,korek,…dan lainnya harap dibawa..,”
tambah Bu Fitri.
“..untuk
thermometer karena hanya ada dua, minggu depan semua harus
punya satu-satu..” kembali ia menegaskan sesuatu.
Karmin
sering mengajak ngobrol denganku,
apapun tak akan pernah habis ngobrol
dengan Pak Karmin ini. Tapi yang jelas ia punya maksud lain ketika harus ngobrol denganku, tak lain dan tak bukan
ini semua akan berujung pada satu orang-Saridin. Tak ayal, akupun berusaha
meladeni setiap cerita-ceritanya meski
semua berkutat tentang Saridin. Sesekali aku juga
menceritakan bagaimana Saridin di kelas, tentang Bu Fitri, teman-temannya. Lucunya
semua cerita harus selalu
kuhubungkan dengan Saridin. Dengan begitu Pak Karmin matanya berbinar-binar, penuh
bangga dan bahagia. Perihal praktikum
fisikapun menjadi topik perbincangan hangat yang aku
suguhkan padanya.
Keesokannya, semenjak obrolan itu
ternyata Pak Karmin merekam satu istilah tepatnya
sebuah nama alat ‘thermometer”. Di situ ternyata dia menangkap sebuah peluang untuk ia jadikan alasan membahagiakan
Saridin dengan membelikan sebuah
alat yang baginya asing dan
aneh di telinganya. Dari nada bicaranya, ia tahu anaknya pasti membutuhkan alat
asing itu. Sebaliknya, meski masih duduk di kelas 1 SMP, Saridin paham bahwa
ayahnya tak punya uang. Dia pun tahu bagaimana harus mengampil sikap, tak
pernah minta dibelikan apapun. Tak
pernah sekalipun dari dulu sampai sekarang. Sampai pelajaran Fisika kali ini, bahkan sampai kapan aku sendiri
juga tak tahu.
Kali
ini Pak Karmin terobsesi dengan
alat asing tersebut. Tiap hari berusaha mencari tahu tentangnya lalu menganalisis dengan
caranya sendiri dalam menemukannya. Semenjak
mendengar alat itu ia menangkap
bayangan Saridin yang penuh
rasa bahagia jika memegang alat itu.
Di situlah ekstase kebahagiaan dalam hatinya terbentuk.
Terbentuk dalam kepolosan seorang ayah yang ingin membahagiakan anaknya.
Ia
bekerja lebih giat, pagi-pagi sehabis shubuh ia harus melompat ke truk pengangkut untuk dibawa bersama
rombongan lain. Di situ Karmin, ayahku dan sebagian besar laki-laki harus
menebang ribuan batang tebu. Dengan
sebuah alat yang disebut Arit(alat
untuk menebang tebu), Pak Karmin bekerja. Tebu-tebu dijadikan satu, diikat kuat
dengan kupasan kulit tebu menjadi sebongkok besar. Tangannya yang perkasa mengangkat
dan memikul tebu-tebu ke dalam truk pengangkut. Bolak-balik sejauh luas
kebun tebu itu sendiri dengan beban pikul dua-tiga kali berat tubuhnya.
Dari pagi buta sampai gelap hari. Setiap hari. Setiap masa panen tebu dimulai. Setiap tahun juga
sepanjang hidupnya sampai saat ini. Bagi kumpulan laki-laki di kampung kami masa panen
tebu adalah hari-hari yang ditunggu, karena saat itulah tiap keluarga punya sisa uang
lebih untuk bayar sekolah anaknya. Minimal bisa membelikan sebuah buku baru
atau sesuatu buat kebahagiaan anaknya. Persis seperti perilaku Pak
Karmin terhadap Saridin.
Jika
hari libur atau ketinggalan truk penjemput
ia kuatkan sisa tenaganya untuk mencari kayu bakar di
hutan untuk dijual di pasar. Setelah berhari-hari melakukan pekerjaan itu
berharap dapat terkumpul uang. Berfokus hanya untuk membeli alat aneh itu pula, akhirnya Pak Karmin akan punya cukup uang untuk
membahagiakan Saridin. Dan berita gembira itu tak sungkan ia bagi khusus untuk
anaknya.
“Saridin,
sekarang kamu harus lebih giat lagi belajar. Ayah akan kasih kamu sebuah
kejutan..,”alat
aneh itu.
Saridin
terkejut, bukan kepalang.
“ah...apa itu, Pak? ” napas tertahan
“…kata Andy kamu perlu
alat sekolah, speedometer,,,,tak salah
lagi speedometer....” kata Pak Karmin
dengan lugunya. Tak menyadari bahwa ia salah menyebut namanya, thermometer
disangkanya speedometer.
Saridin
hanya tersenyum
mengiyakan menanggapinya keluguan ayahnya.
Memahami, ternyata tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang dalam memahami
sebuah alat.
Ah..mungkin
ia sering mendengar istilah itu
dari orang-orang di kebun tebu, pasalnya
mereka-para kuli tebu-sering bergossip
ria tentang sepeda motor
ketika jam istirahat siang.
Tentu tentang anak-anak
mereka yang suka main kebut-kebutan di jalan yang akhir-akhir ini memang
meresahkan warga. Dari situ kemungkinan Pak Karmin mencomot istilah itu secara
tak sengaja sehingga tertukar namanya....lucu. Selain buta huruf, Pak Karmin
memang ditengarai mengidap penyakit lupa alias pikun, dikarenakan faktor
usianya. Pernah suatu saat ketika
mandor tebu menyuruhnya
membelikan obat sakit kepala, malah dibelikan obat flu-mungkin karena namanya
sama-sama berakhiran –mex.
***
Agaknya
Saridin juga penasaran perihal kejutan ayahnya, beberapa hari ini ia tak bisa
tidur memikirkan kejutan alat ‘speedometer’ ayahnya. Agaknya Karmin juga
mencium gelagat perilaku Saridin yang senyum-senyum sendiri, kali ini Saridin terserang syndrom hadiah ayahnya. Dan Pak
Karmin memahami betul akan hal itu.
Tanpa
buang tempo, pagi ini di hari minggu, Pak Karmin meliburkan diri demi membelikan alat itu.
Dengan sepeda onta tua warisan orangtuanya, Pak
Karmin melaju cepat dengan sepedanya menuju satu
tempat di ujung jalan Kecamatan. Toko “ANEKA ALAT”, bunyi sebuah plang di depan
toko. Nama sebuah toko yang ditanyakan Pak Karmin padaku tempo hari. Di situ kebahagiaan Saridin
akan terwujud sebentar lagi.
Kejadian
lucu terjadi lagi. Pak Karmin salah lagi bukan salah lagi tapi memang salah. Meski sudah
berulang kali kubenarkan nama alat itu, Pak Karmin masih menyebutnya dengan sebutan speedometer
bukan thermometer. Entahlah mungkin karena begitu bersemangatnya. Tak ayal Pak
Karmin menjadi bahan ketawaan di areal toko
itu.
“…eee..alat
anu, untuk anak saya mau buat sekolah, alat ngukur panas…” kata Pak
Karmin terbata-bata dengan tata bahasa berserakan saat
coba mendefinisikan alat itu.
“…ooo..itu
namanya thermometer, Pak
bukan speedometer, bapak salah..” pelayan toko membenarkannya.
Tentu sambil menahan tawa. Pak
Karmin hanya mengangguk entah mengerti atau tidak.
Uang lusuh
lima puluh ribuan ia ambil
dari kantong celananya lalu ia serahkan
pada pelayan toko. Tidak hanya itu Pak
Karmin juga membelikan buku satu pak dari sisa uang kembalian
tadi. Dibungkus rapi alat dan buku itu lalu dengan
senyum mengembang ia bergegas
meninggalkan toko.
Di
sepanjang jalan Pak
Karmin terheran-heran akan bayangan alat thermometer
di toko. Baginya alat ini aneh seaneh namanya. Bentuknya serupa botol kaca yang
ditaburi angka-angka di kanan kirinya. Kolaborasi antara botol dan penggaris
mungkin begitu pikirnya, hanya bentuknya saja agak tipis nan ramping. Tapi ia
tak ambil pusing,
baginya alat inilah tata letak mimpi Saridin selanjutnya.
Di
dalam kamar Saridin
sibuk belajar dan menyiapkan persiapan untuk sekolah besok pagi. Tepat di hari
ini ia menunggu ayahnya membawakan alat itu untuk praktik pelajaran favoritnya.
Hatinya tak sabar menanti hadiah istimewa pertama semasa sekolahnya juga
sepanjang hidupnya.
Ketika
ayahnya tiba, dia
segera menghambur keluar menemuinya. Dia diam seribu bahasa melihat ayahnya menenteng sebuah
bungkusan di tangannya.
“Saridin…ini
hadiahmu yang
kujanjikan itu. Bukalah dan lihatlah, “ kata ayahnya dengan nafas yang berat
karena kelelahan. Timbunan keringat mengalir penuh
menutupi muka ayahnya.
“…yang ini buku-buku buat kamu juga,
biar kamu gak campur-campur semua
yang diajarkan guru-guru di sekolah. Mulai
besok pagi kamu bawa buku dan alat ini untuk belajar.”Ayahnya menyerahkan
bungkusan.
Saridin
tersenyum lebar kali ini. Mulutnya tak henti berucap terima kasih pada ayahnya.
Dia bergegas ke kamar. Dia membuka bungkusan itu. Pelan-pelan hingga terpampang
sebuah alat ajaib pemberian ayahnya. Thermometer. Sebuah alat yang akan
melompatkan mimpi-mimpinya menjadi ilmuwan. Saridin terdiam dalam senyap.
Perlahan-lahan air matanya meleleh untuk sebuah alasan yang tak begitu ia
mengerti. Bingung antara tangis bahagia atau tangis sedih. Semenjak saat itu ia
berjanji akan membahagiakan ayahnya dan berusaha mewujudkan cita-cita
dirinya. Menjadi ilmuwan sepeti
Yohanes Surya.
***
Hari
ini cuaca begitu cerah, indah tak seperti biasa. Mewarnai kebahagiaan hati seorang siswa yang sedang tekun di kelasnya.
Pagi ini praktik fisika
seperti yang dijanjikan Bu Fitri tempo hari. Ada satu siswa yang terlihat begitu bahagia dari pada yang
lain siswa itu bernama Saridin. Dari raut
mukanya ia begitu tekun dan serius di pelajaran
favoritnya kali ini. Dadanya sesak. Dia masih membayangkan perjuangan ayahnya dalam
membelikan alat yang ia pegang. Bagaimana ayahnya
mengumpulkan uang tiap hari, membayangkan ayahnya pontang-panting naik sepeda.
Dan yang paling membuatnya haru ketika mendengar ayahnya salah melafalkan nama
alat itu. Pengorbanan tulus ayahnya
itulah yang selama ini menjelma menjadi kekuatan dalam semangat belajarnya. Tak
heran ia selalu unggul dalam mengejar prestasi. Menjadi
kekuatan tersembunyi Saridin yang selama ini tak dimiliki oleh siswa lain bahkan
termasuk diriku.
Ibu
Fitri begitu
antusias melihat siswanya semakin rajin. Mengingat pelajaran Fisika kadang
menjenuhkan dan menakutkan bagi sebagian besar siswa. Tidak untuk kali ini karena semua siswa
terlihat bersemangat.
“…perhatian
untuk semua !,
tolong praktik yang serius ,,,Ibu tinggal dulu sebentar ke ruang kepala
sekolah. Kalau ada yang ditanyakan bisa bekerjasama dengan yang lain..”bu Fitri
pamit meninggalkan ruangan lab.
“..iya,,Buu..”jawab
serentak
“..lama
gak bu..?”tanya seorang siswa.
“..Nggak..Ibu tinggal 10 menit, kalau ada
pertanyaan silakan ditanyakan ke Saridin..”
Ruangan
lab mulai ramai semenjak Bu Fitri berlalu. Saridin hanya fokus pada thermometer. Praktikum kali ini meneliti
pengaruh kalor terhadap perubahan suhu dan perubahan wujud. Mata Saridin tak
bergeser pada angka-angka penunjuk suhu. Kemudian dengan seksama mencatat hasil
pengamatannya di buku barunya. Sementara siswa lain asyik dengan sendirinya.
Beberapa
saat kemudian datang bu Fitri. Seperti yang ia janjikan 10 menit sebelumnya.
“..Perhatian
semuanya. Tolong hentikan sejenak aktivitas kalian..!”Bu Fitri terlihat mengumumkan sesuatu.
Biasanya
pengumumam pasti
tentang lomba. Paling sering lomba cerdas cermat antar sekolah atau mewakili
sekolah dalam perlombaan tertentu. Dan yang sering kebagian lomba tak lain
Saridin walau kadang juga diriku. Tapi kali ini raut wajah Bu Fitri terlihat
berbeda. Entah kenapa semua juga tak tahu.
Bu
Fitri lain ketika melihat Saridin yang tengah serius mempraktikkan alatnya. Ia
mendekati Saridin. Semua siswa terlihat memperhatikannya termasuk diriku. Bu
Fitri berusaha menahan perasaannya. Ia mengajak Saridin keluar ruangan
sebentar. Tapi Saridin enggan karena ia tengah asyik dengan alat barunya.
Bu
Fitri bersikeras membujuknya tapi Saridin juga bersiskeras ingin tahu alasannya. Kenapa
harus keluar jika memang itu tentang lomba seperti biasanya, begitu pikir Saridin. Di sisi lain tak mungkin Bu Fitri
mengabarkan peristiwa ini di hadapan teman-temannya. Entahlah.
“..Bu..ternyata
jika sebuah benda dipanaskan, maka suhu benda akan naik..”analisis Saridin pada
bu Fitri.
“..tapi
ketika terjadi perubahan wujud pada
suatu benda ternyata selalu disertai pelepasan atau penyerapan kalor..” tambah Saridin dengan serius.
“…Saridin…sebentar,
Ibu mau memberi…”kata Bu Fitri .
“..akan
tetapi perubahan wujud tidak disertai perubahan suhu..dan..,” kata Saridin memotong pembicaraan.
Bu
Fitri berusaha tersenyum dan membujuknya lagi. Bu Fitri tak punya alasan lagi. Kali ini bu
Fitri memotong analisis Saridin.
“Saridin
ayahmu meninggal, segeralah pulang. Maafkan Ibu harus memberitahumu seperti
ini.”
Saridin
terdiam kaku. Mulutnya ternganga seolah ingin berucap sesuatu. Semua siswa
terdiam. Terpekur dalam senyap secara tiba-tiba. Mata Saridin mulai memerah.
“…Ibu
pasti salah. Tadi pagi ayah sempat berpamitan denganku sebelum berangkat
kerja.,” suara Saridin melemah. Menatap kosong ke teman-temanya. Meminta pembenaran. Saridin bergetar.
“…kata
warga, truk penjemput ayahmu bertabarakan dengan sebuah bus.”
Saridin
tak kuasa menahan tangis yang coba ia tahan-tahan di hadapan teman-temannya.
Ia
kemudian membereskan semua peralatannya. Air matanya mulai jatuh tak
terbendung. Panik membuatnya tak menguasai diri. Thermometer pemberian ayahnya
ikut jatuh pecah seiring pecah tangisnya. Berserakan di
lantai. Saridin tak peduli lagi. Ia segera bergegas dan berlari pulang untuk melihat ayahnya. Melihat ayahnya untuk
terakhir kalinya.
Rumah
Saridin penuh dengan orang. Jenazah ayahnya terbujur kaku penuh dengan luka
jahitan. Dia meratapi bersama adik dan Ibunya. Air
matanya membanjir tiada henti. Semua telah menunggu dia
untuk memakamkan jenazah ayahnya segera.
Kabar
berhembus. Korban kecelakaan yang meninggal dua orang, satu adalah ayahnya yang kedua adalah sopir truk na’as
itu.Sebenarnya Pak Karmin tak biasanya duduk di depan bersama
sopir. Mungkin karena alasan penuhnya penumpang membuatnya duduk di depan.
Memang sudah sering terdengar jika di jalan menuju kebun tebu marak terjadi
kecelakaan. Hampir tiap musim panen tebu selalu memakan korban.
***
Maghrib
menjelang. Saridin dan keluarganya pulang ke rumah. Tetangganya satu persatu
pulang ke rumah masing-masing. Semua hening. Bisu. Memandangi seisi rumah. Padahal jam-jam seperti inilah Saridin dan
Ibunya biasa menanti ayahnya pulang dari kerja. Menanti bungkusan , berisi potongan buah semangka yang disisakan
ayahnya dari makan siang. Atau kalau tidak sepotong roti, golang-galing dari uang kembalian sehabis minum kopi.
Mereka hanya diam, saling berpelukan
membayangkan betapa kehilangan yang amat atas meninggal ayahnya. Inilah tragedi terbesar
yang mengguncang jiwanya. Dan anak seusia Saridin harus menanggung ini
semua.
Esoknya
Saridin bangun lebih awal. Sementara ibunya ke dapur memasak sesuatu. Saridin
masih shok atas peristiwa memilukan dalam hidupnya ini. Membayangkan nasib pilu
keluarganya. Tak ada lagi penyangga hidup utama bagi keluarganya. Sementara tak
ada lagi sanak saudara yang bisa diminta bantuan, semua
telah berkeluarga dan tinggal jauh.
Baginya
tak pernah terbayangkan akan memikul beban hidup sedemikian beratnya. Dia
kini menyadari untuk anak seusianya-kelas 1 SMP- harus
mengambil alih sebagai penyambung hidup buat keluarganya, buat adik dan ibunya.
Kini dia harus memikul tanggung jawab itu, menghidupi adik dan ibunya.
Dilematis nan memilukan ketika harus membayangkan kedepannya.
Tentang sekolahnya. Tentang cita-citanya menjadi ilmuwan seperti Yohanes Surya.
****
Mereka
adalah teman sekelas dan sahabat terdekat Saridin. Tampak mereka hanya diam, aku juga.
Saridin mengucap perpisahan. Ia memutuskan untuk bekerja. Saridin memeluk
semuanya. Air mataku jatuh tak terbendung lagi. Seluruh teman-temannya seakan
tak menyangka akan sedemikian cepat Saridin berlalu untuk selamanya. Hati terasa
begitu sesak dan berat. Rasa kehilangan tiba-tiba merasuk dengan cara yang
tak bisa dijelasakan.
“…teman-teman
kita akan bertemu lagi, suatu saat nanti..percayalah..,” katanya dengan penuh
senyum.
“aku
akan terus belajar meski tidak harus sama seperti kalian…” kata Saridin mencoba menghibur.
Bu
Fitri tak kuasa melihat kejadian ini ikut menghambur. Dipeluknya Saridin seperti anaknya sendiri.
Air matanya bercucuran membasahi seragam terakhir Saridin. Semua siswa makin
ikut menjadi-jadi dalam ratap tangis.
Bu
Fitri mencoba berkata sesuatu. Sebuah nasihat.
“..Kau
harus kuat. Belajarlah untuk kau kejar cita-citamu itu..,”
“..Tenanglah,
Tuhan akan menjawab semuanya saat kau dewasa nanti.
Dalam hidup ini mulailah dari apa yang kau bisa bukan
dari apa yang kau ingin. Maka kau akan belajar sesuatu…Tetaplah akan
cita-citamu, Anakku…”nasihat Bu Fitri padanya.
“..Berbuatlah
yang terbaik di mana saat ini kau berdiri, InsyaAllah kau akan berhasil..”kata
terakhir untuknya.
Saridin
berlalu. Dipandanginya
seluruh teman-temannya, termasuk Bu Fitri. Hari terakhir masuk sekolah. Hari
yang sekaligus mengakhiri hari-hari bersama temannya. Di situlah kenangan indah
akan mimpinya akan berakhir. Entahlah apakah memang benar-benar berakhir. Yang
ada kini Saridin akan merantau ke kota untuk bekerja menghidupi keluarganya.
Meninggalkan ibu dan adiknya. Meninggalkan semuanya. Kampung halamannya.
Mimpi-mimpinya. Yang kini masih terselip di antara tanda tanya ataukah koma.
Hanya Tuhan yang punya kunci jawabannya.
Tangerang,
190413
dini
hari yang senyap
Belum ada Komentar untuk "Mimpi Saridin"
Posting Komentar