Dilema Dunia Kepenulisan
Kamis, 28 November 2013
Tambah Komentar
DILEMA DUNIA KEPENULISAN
“Antara Karya Berkualitas dan Kebutuhan Pasar”
Oleh: Andik Irwanto
Tidak
dapat dipungkiri, Indonesia sebagai negara berkembang masih mengandalkan buku
sebagai sebagai salah satu sumber informasi utama di samping media lain. Dunia
kepenulisan/perbukuan sebagai payung yang mewadahi dua pelaku pokok-penerbit
dan pembaca- belum mampu memposisikan buku sebagai media arus utama. Meski di
tengah badai globalisasi di mana informasi serasa di genggaman tangan kita,
ternyata kondisi perbukuan belumlah ‘teruji nyali’ untuk sekadar bertegur sapa
secara mesra. Apalagi mengawinkan keduanya untuk bersinergi-mutualisme.
Bukankah seharusnya ini menjadi sebuah tantangan “bersama” dunia
kepenulisan/perbukuan, termasuk di dalamnya penerbit, penulis atau pembaca
sebagai pelaku utama di dalamnya.
Namun kenyataannya dunia kepenulisan
seolah masih gagap untuk nongkrong dan ngomong berdua untuk
membahas ini semua. Karena dari semua pelaku, tidak atau masih belum bisa
bersinergi satu sama lain meskipun dalam satu atap yang sama, sebagai anggota
keluarga yang sama(baca: dunia kepenulisan). Ditengarai adanya gegalauan
yang menggelayuti keduanya. Dilema di dunia kepenulisan masih menjadi semacam
masalah, jika boleh kita menyebut masalah seperti masalah terjadinya dilema antara
karya yang berkualitas dengan menyesuaikan kebutuhan pasar yang ada. Kedua
persoalan dilematis ini menjadikan kedua pelaku utama yakni dunia penerbit dan
penulis terdikotomi dalam idealisme masing-masing.
Dunia penerbitan akan mengacu dan
melihat pada kebutuhan pasar yang ada,
sementara sebagai penulis harus menulis sesuai kapasitas intelektualitasnya.
Dunia penerbitan harus mempertimbangkan antara karya yang berkualitas untuk
bisa diterima dalam industri pasar. Di sisi lain, penulis harus mempertahankan
idealisme kepenulisanya sebagai wujud eksistensinya. Bahkan, keduanya menjadi
polemik yang mungkin memang tak begitu nampak dipermukaan tapi begitu terasa
adanya. Ketika keduanya dihadapkan pada kondisi pasar yang telah terindustrialisasi.
Semua mau tidak mau harus mengerucut pada kebutuhan pasar.
Bagaimana harus mengambil sikap yang
positif untuk menjembatani keduanya atau mensinergikan keduanya, untuk bersama
membangun dunia perbukuan Indonesia di tengah minat baca yang masih rendah? Apa langkah yang harus diambil dunia
penerbitan untuk tetap meramaikan dunia perbukuan di Indonesia? Apa yang harus
diterapkan penulis untuk tetap berkarya dalam rel idealisme masing-masing? Bagaiamana
nasib dunia perbukuan kita ke depan?
FAKTA PASAR PERBUKUAN SAAT INI
Dunia kepenulisan atau perbukuan memang
masih banyak yang perlu dibenahi. Bagaimana dunia perbukuan Indonesia bisa
bersaing dengan negara tetangga kita. Ini semua masih menjadi tantangan ke
depan yang menjadi PR bersama. Belum lagi, di tengah kondisi sebagian besar
masyarakat yang masih awam akan pentingnya membaca. Kebiasaan laten masyarakat
kita yang masih rendah minat bacanya. termasuk
anak-anak muda yang kini lebih gemar dengan media jejaring sosial, gadget. Di hadapkan lagi pada kondisi pasar perbukuan yang kadang naik turun, lesu
dan kurang bergairah.
Jumlah
buku dan organisasi kepenulisan
Dalam
kurun lima tahun (1999 -2003) jumlah rata-rata judul buku baru yang diterbitkan
setiap tahun sekitar 6000 judul (termasuk terjemahan). Jumlah ini lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah judul buku baru yang diterbitkan di Malaysia(+
8.500 judul), Korea(+ 45.000 judul), Jepang(+60.000 judul),
dan Amerika (+ 90.000 judul). Rendahnya produksi buku di Indonesia
tidak terlepas dari kurangnya naskah yang dihasilkan oleh penulis/pengarang,
penerjemah, dan penyadur.
Dilihat dari jenisnya, buku-buku yang diterbitkan itu dapat
digolongkan sebagai berikut:
PERSENTASE BUKU YANG DITERBITKAN DILIHAT DARI JENISNYA
NO
|
JENIS
BUKU
|
JUMLAH
|
1
|
Buku sekolah
|
65 %
|
2
|
Buku agama
|
15 %
|
3
|
Buku perguruan tinggi
|
15 %
|
4
|
Buku lain
|
5 %
|
Sumber: Kongres Perbukuan
Nasional I, 1995
Meskipun data yang diacu
bersumber dari dokumen Kongres Perbukuan tahun 1995, nampaknya komposisi jenis
buku itu belum banyak berubah sampai dengan tahun sekarang. Komposisi jenis buku yang diterbitkan itu menunjukkan
bahwa jenis buku yang paling banyak dihasilkan adalah untuk keperluan sekolah
atau buku pelajaran, baru kemudian buku perguruan tinggi yang jumlahnya sama
dengan buku agama. Keadaan ini menunjukkan bahwa penulis/pengarang, penerjemah,
serta penerbit menganggap bahwa lembaga-lembaga pendidikan (sekolah dan
perguruan tinggi) masih merupakan pasar/sasaran utama. Data ini
juga memberikan indikasi, kebanyakan penulis/pengarang dan penerjemah buku pada
umumnya masih berasal dari kalangan guru, dosen, dan ilmuan lainnya.
Meskipun, dewasa ini penulis/pengarang
belum dinyatakan sebagai profesi tersendiri, terdapat juga organisasi profesi
di Indonesia seperti, Himpunan Pengarang Indonesia “Aksara”, Ikatan Pengarang
Indonesia(Ipindo), Wanita Penulis Indonesia(WPI), dan Himpunan Penerjemah
Indonesia(HPI), Jumlah anggota masing-masing organisasi adalah sebagai berikut.
JUMLAH ANGGOTA ORGANISASI PROFESI PENGARANG/PENULIS DAN
PENERJEMAH
NO
|
NAMA ORGANISASI
|
JUMLAH
|
1
|
Himpunan Pengarang
Indonesia “AKSARA
|
120
|
2
|
Ikatan Pengarang
Indonesia (IPINDO)
|
116
|
3
|
Wanita Penulis
Indonesia (WPI)
|
69
|
4
|
Himpunan Penerjemah
Indonesia (HPI)
|
64
|
Catatan: Jumlah anggota masing-masing
organisasi diperoleh secara lisan dari ketua masing-masing organisasi, 2003. Tidak ada data resmi secara tertulis dan terdapat
beberapa pengarang/penulis termasuk anggota lebih dari satu organisasi.
Di samping beberapa organisasi di atas terdapat juga organisasi lain seperti Forum Lingkar Pena(FLP) yang mungkin terbesar di
Indonesia. Forum Sastra Wanita “Tamening” di Sumatra Barat dan beberapa
himpunan penulis di daerah seperti di Yogyakarta, Bandung,
dan Bengkulu. Akan tetapi, jumlah anggotanya tidak diketahui secara pasti. Selain itu, ada juga organisasi penulis yang mati
seperti Persatuan Penulis Republik Indonesia (Peperindo). Walaupun masih ada
sejumlah penulis/pengarang, penerjemah, dan penyadur yang tidak termasuk ke
dalam salah satu organisasi di atas, data yang dikemukakan menunjukkan sangat
kurangnya jumlahnya dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sudah
melebihi 220 juta orang.
Minat
baca masih rendah
Kompas
melansir tentang kondisi pasar perbukuan
yang ada Indonesia. Minat
baca masyarakat Indonesia masih rendah. Kondisi saat ini tercatat satu buku
dibaca sekitar 80.000 penduduk Indonesia.
Angka produksi buku di
Indonesia sampai saat ini masih belum membanggakan. "Kita masih setara
dengan Malaysia dan Vietnam, padahal jumlah penduduk Indonesia lebih banyak.
Kondisi ini tidak masuk akal," kata Direktur Eksekutif Kompas Gramedia,
Suwandi Subrata, dalam jumpa pers usai pembukaan Gramedia Fair di Istora
Senayan Jakarta, Rabu (29/2/2012).
Suwandi menyebutkan, tahun
2011 tercatat produksi buku di Indonesia sekitar 20.000 judul. Dari sisi oplah,
Indonesia memang lebih tinggi jika dibandingkan Malaysia. Untuk penerbit besar,
umumnya satu buku dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Adapun di Malaysia sekitar
1.500 eksemplar per buku, atau hampir sama dengan penerbit kecil di Indonesia.
Penelitian UNESCO memperlihatkan
kondisi minat baca bangsa Indonesia yang
menyedihkan: “Mahasiswa di negara industri maju
ternyata memiliki rata-rata membaca selama delapan jam per hari, sedangkan di
negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap hari. Kurangnya
minat baca dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia saat ini yang
baru sekitar 0,001, artinya dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang
masih memiliki minat baca tinggi. Angka ini masih sangat jauh dibandingkan
dengan angka minat baca di Singapura. Indeks membaca di negara itu mencapai
0,45.
Harga buku yang saat ini terbilang
relatif mahal. Menurut tulisan Masni dalam web UGM, beberapa tahun belakangan
ini harga buku yang mahal menjadi rumor yang berkembang di kalangan mahasiswa
dan masyarakat pencinta buku. Dengan mahalnya harga buku, maka mengakibatkan
para konsumen buku terkadang harus merogok saku atau dompetnya lebih dalam
untuk mendapatkan sebuah buku yang mereka ingin beli. Artinya bahwa buku yang
berkembang saat ini di Indonesia memang terbilang cukup mahal untuk kalangan
mahasiswa dan masyarakat pecinta buku.
Faktor kedua adalah tidak seimbangnya
antara harga buku dengan kualitas buku. Misalnya saja masyarakat sering
menemukan buku dengan lembaran dan kualitas terbitan yang sama tetapi dengan
perbedaan harga hingga berapa kali lipat. Tambahan lagi, jika masyarakat membandingkan harga antartoko buku,
maka umumnya akan ditemukan beda harga yang cukup kontras antara toko buku
ternama setingkat Gramedia yang relatif lebih mahal dari toko biasa. Belum lagi, buku-buku bajakan yang menyerbu di pasaran
semakin memperburuk keadaan dunia perbukuan.
Ini semua mungkin belumlah mengupas secara tuntas semua problem dunia
perbukuan kita sekarang, tapi paling tidak mewakili keresahan dan kegalauan kita
untuk bersama-sama berttanggung jawab membenahinya.
26 Nov’ 13
Belum ada Komentar untuk "Dilema Dunia Kepenulisan"
Posting Komentar